Selasa, 07 Juli 2009

PILPRES 2009

Tanggal 8 Juli merupakan peristiwa yang sangat penting bagi bangsa Indonesia. Ya, karena pada hari itu semua penduduk Indonesia memilih Presiden untuk menentukan nasib bangsa ini. Jangan sampai golput karena satu suara sangat menentukan. Semua janji-janji telah diucapkan, kita tinggal menunggu saja apakah akan terealisasikan? Dengan terpilihnya Presiden kita nanti semoga akan memperbaiki roda kehidupan di Indonesia. Untuk calon presidenku yang baru, kami berharap agar engkau melancarkan pembangunan secara menyeluruh terutama di desa-desa kecil yang sangat membutuhkannya. terina kasih.

Selasa, 19 Mei 2009

Kota Madiun

Madiun, Kota Gadis ???
Mengapa di sebut sebagai Kota Gadis? Ya, sampai sekarang saya belum menemukan jawabannya. Mungkin kalau saya tidak ditempatkan di kota tersebut, saya tidak akan pernah tahu Kota Madiun secara jelas. Dari PPL II saya dapat tahu Kota Madiun, memang indah, segar, damai dan banyak lagi yang lainnya. Yang pasti gadisnya cakep-cakep.

Kesan Untuk PPL II 2008 Di SMKN 5 Madiun

Pertama kali manginjakkan kaki di SMKN 5 Madiun kami 22 mahasiswa PPL datang dengan rasa cemas, takut tidak diterima dengan baik. Kami berpakaian rapi, berprilaku layaknya tamu yang tak diundang. Kami cemas apakah PPL kami akan sangat menguji adrenalin kami atau akan sangat menyenangkan hati? Saat itu kami pasrah atas apapun yang akan terjadi.

Namun ternyata perkiraan kami terhadap sang tuan rumah sangat melenceng jauh dari kenyataan. Sang tuan rumah begitu baik pada kami, yang tadinya kami merasa seperti tamu tak diundang, sekarang kami merasa bagaikan anak bagi guru – guru di sana. walaupun kadang – kadang kami agak nakal, tetapi mereka tidak pernah sedikitpun menganaktirikan kami.

Bagi saya pribadi, PPL II 2008 adalah kenangan yang termanis. Ribuan pengalaman telah saya dapatkan dari situ. Sungguh sangat berkesan baik dari pihak guru lebih lagi dari para murid.

Terima kasih yang sedalam – dalamnya saya ucapkan kepada segenap keluarga besar SMKN 5 Madiun yang telah mengajari kami arti menghargai dan menghormati sesama. Saya rekomendasikan SMKN 5 Madiun sebagai sekolah tujuan PPL II yang paling TOP.

Harapan PNB 2005

Untuk teman-temanku Mahasiswa PNB 2005, Komandan Handoko (Ndok), Mukhtar (Bank Mukhtar), Yohan (Bejo), Setiawan (Se), Udin (Broden) and Sugeng (Genk), kalianlah yang terbaik. Semoga sukses yach... jangan putus asa atau patah semangat, kita harus terus berjuang, Okreeeeeeeeek!!!

Keluhan Terhadap Dosen

Dari dulu sampai sekarang kelas PNB dicap sebagai kelas yang nakal, malas dan sebagainya. Tidak kecuali dengan kelas saya PNB 2005. Ok saya akui memang kelas kami sering ramai, telat masuk kuliah, tapi bukan berarti kami tidak niat kuliah, sebenarnya kelas kami tidak nakal. Sindiran, celaan, kemarahan dari Dosen seringkali menimpa kalas kami. Masalah tugas, kami pasti mengumpulkan ko'. Kadangkala kami mengerjakan tugas, sampai larut malam, sampai habis berjam-jam demi seleseinya tugas itu tapi eh kata dosennya tugasnya tidak usah dikumpulkan. Juga pas pada waktu mengumpulkan tugas tapi dosennya sendiri tidak masuk. Gimana ga' sebel coba...

Selasa, 31 Maret 2009

Tentang UNESA

Universitas Negeri Surabaya, disingkat Unesa, adalah perguruan tinggi negeri di Surabaya, Indonesia, yang berdiri pada 19 Desember 1964. Rektor pada tahun 2006 adalah Prof. Dr. H. Haris Supratno.UNESA memiliki 7 fakultas.antara lain FIK (fakultas ilmu keolahragaan),FIP (fakultas ilmu pendidikan),FBS (fakultas bahasa dan seni),FT (fakultas tekni), FE (fakultas ekonomi),FMIPA (fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam),dan FIS (fakultas ilmu sosial). diantara ke tujuh fakultas yang ada di UNESA yang menjadi unggulan adalah FIK. fakultas ini memiliki sarana dan prasarana Olahraga terlengkap di asia tenggara. fakultas ini juga mendapatkan nama Kampus prima utama Olahraga dari menpora RI.


IKIP Surabaya yang legendaris itu telah berubah menjadi Unesa? Bisa diceritakan proses perubahan dan implikasinya?

Pada 1980 sampai 1990 minat masyarakat untuk belajar di IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Surabaya dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Puncaknya, 1997-1998, jumlah mahasiswa hanya sekitar 6.000. Anggapan generasi muda bahwa profesi guru tidak menjanjikan, seperti Oemar Bakri, telah melekat kuat di benak mereka. Dan itu tak lepas dari kenyataan yang ada saat itu.

Nah, mulai 1999, beberapa rektor IKIP negeri mengusulkan kepada Dirjen Pendidikan Tinggi agar IKIP diubah statusnya menjadi universitas. Gelombang pertama yang diubah adalah IKIP Surabaya, Malang, Jogjakarta, Medan, dan Jakarta. Kemudian, disusul IKIP-IKIP negeri lain pada gelombang kedua. Jadi, total IKIP Negeri yang berubah status menjadi universitas negeri ada 10.

Nama universitas disesuaikan dengan nama kota masing-masing. IKIP Negeri Surabaya menjadi Universitas Negeri Surabaya (Unesa) karena letaknya di Surabaya. IKIP Negeri Makassar menjadi Universitas Negeri Makassar. Dan seterusnya.

Apa perbedaan utama IKIP setelah menjadi universitas?

Nah, sejak 1999 itu Unesa juga mengalami perluasan mandat. Unesa tidak hanya menyelenggarakan program kependidikan, tetapi juga nonkependidikan. Contoh: Pendidikan Bahasa. Ada Sastra Inggris, Pendidikan Bahasa Indonesia, dan Sastra Indonesia. Begitu juga di Fakultas Matematikan dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), ada yang pendidikan, ada ilmu murni, ada yang terapan.

Sejak saat itulah minat masyarakat untuk kuliah di Unesa mengalami peningkatan yang luar biasa. Puncaknya pada 2008 lalu, peminat mencapai 22 ribu pendaftar. Sedangkan yang bisa diterima hanya 4.500 mahasiswa.

Apakah peningkatan peminat ini terjadi di semua jurusan?

Yang paling tajam di PGSD (Pendidikan Guru Sekolah Dasar). Pada jalur PMDK mencapai 5.000 pendatar untuk daya tampung yang hanya dua kelas. Belum lagi jalur SNM-PTN dan nonreguler. Sedangkan jurusan yang peminatnya tetap sedikit, bahkan menurun, adalah sejarah dan seni. Ini disebabkan anggapan masyarakat mengenai prospek pekerjaan untuk lulusannya yang kurang begitu menjanjikan.

Saya juga ingin tekankan bahwa bahwa meskipun IKIP Surabaya telah menjadi Unesa, kami tetap mempertahankan status sebagai Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).

Faktor apa yang menyebabkan peminat meningkat sangat tajam?

Menurut saya, ini terkait Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang secara eksplisit mengatur kesejahteraan guru dan dosen. Fasilitas dan tunjangan cukup banyak. Misalnya, tunjangan profesi, maslahat, cuti, dan lain-lain. UU ini mampu mengangkat citra, harkat, martabat, dan status sosial guru menjadi lebih tinggi. Tentu saja, untuk mendapatkan semua itu harus melalui sertifikasi terlebih dahulu.

Bagaimana dengan sarana dan prasarana di Unesa?

Sarana dan prasarana di Unesa dari tahun ke tahun semakin baik. Sejak 1999 ruang kuliah sudah berbasis OHP dan AC. Bahkan, sekarang sudah berbasis ICT.

Dulu, ada anggapan di masyarakat bahwa mahasiswa IKIP itu kebanyakan karena tidak diterima di universitas lain. Apakah masih demikian?

Salah. Sebab, dari dulu pendaftaran penerimaan mahasiswa baru itu dilaksanakan serentak si semua perguruan tinggi negeri. Lebih tepat, dulu, yang masuk ke IKIP itu kemampuannya di bawah mahasiswa perguruan tinggi lain yang sudah populer seperti ITS, Unair, atau UGM.

Sekarang, yang masuk Unesa umumnya lulusan SMA yang memang punya kemampuan. Bahkan, Unesa pun termasuk salah satu kampus favorit. Selain iming-iming prospek menjadi guru dengan gaji yang sangat menjanjikan, masyarakat juga sadar akan pentingnya tenaga pendidik harus memiliki keunggulan yang tinggi.

Apakah lulusan Unesa masih layak menjadi pendidik?

Jelas. Unesa memiliki komitmen untuk terus mencetak pendidik yang andal dan profesional. Unesa menghasilkan dua produk: tenaga pendidik dan scientist. Untuk program nonkependidikan, tidak menutup kemungkinan menjadi tenaga pendidik setelah lulus karena mereka juga dibekali dengan Akta Empat. Mahasiswa program kependidikan juga sudah dibekali dengan berbagai mata kuliah pedagogik semenjak semester pertama. Oleh karena itu, mereka sangat layak menjadi tenaga pendidik.

Apa usul Anda agar lulusan SMA yang bekualitas tertarik pada profesi guru?

Salah satunya, ya, laksanakan Undang-Undang Guru dan Dosen. Kalau itu dilaksanakan, insyaallah, kesejahteraan guru dan dosen menjadi lebih baik.

Selasa, 17 Maret 2009

KANG SARPIN MINTA DIKEBIRI

KANG SARPIN MINTA DIKEBIRI
Karya : Ahmad Tohari

KANG Sarpin meninggal karena kecelakaan lalu lintas pukul enam tadi pagi. Ia sedang dalam perjalanan ke pasar naik sepeda dengan beban sekuintal beras melintang pada bagasi. Para saksi mengatakan, ketika naik dan hendak mulai mengayuh, Kang Sarpin kehilangan keseimbangan. Sepedanya oleng dan sebuah mobil barang menyambarnya dari belakang. Lelaki usia lima puluhan itu terpelanting, kemudian jatuh ke badan jalan. Kepala Kang Sarpin luka parah, dan ia tewas seketika. Satu lagi penjual beras bersepeda mati menyusul beberapa teman yang lebih dulu meninggal dengan cara sama.

Beban sekarung beras pada bagasi dan terkadang sekarung kecil lainnya pada batangan adalah risiko besar bagi setiap penjual beras bersepeda. Tetapi mereka tak jera. Setiap hari mereka membeli padi dari petani, kemudian mengolahnya di kilang lalu menjual berasnya ke pasar. Mereka tak peduli sekian teman telah meninggal menjadi bea jalan raya yang kian sibuk dan kian sering minta tumbal nyawa.

Berita tentang kematian itu sampai kepada saya lewat Dalban, ipar Kang Sarpin sendiri. Ketika menyampaikan kabar itu Dalban tampak biasa saja. Wajahnya tetap jernih. Kata-katanya ringan. Mulutnya malah cengar-cengir. Entahlah, kematian Kang Sarpin tampaknya tidak menjadi kabar duka.

Di rumah Kang Sarpin saya telah melihat banyak orang berkumpul. Jenazah sudah terbungkus kafan dan terbujur dalam keranda. Tetapi tak terasa suasana duka cita. Wajah para pelayat cair-cair saja. Mereka duduk santai dan bercakap sambil merokok seperti dalam kondangan atau kenduri. Ada juga yang bergurau dan tertawa. Asap mengambang di mana-mana melayang seperti kabut pagi. Ah, saya harus bilang apa. Di rumah Kang Sarpin pagi itu memang tak ada duka cita atau bela sungkawa. Kalaulah ada seorang bemata sembab karena habis menangis, dialah istri Kang Sarpin. Tampaknya istri Kang Sarpin berduka seorang diri.

Setelah menaruh uang takziyah di kotak amal saya mencari kursi yang masih kosong. Sial. Satu-satunya kursi yang tersisa berada tepat di sebelah Dalban. Ipar Kang Sarpin masih ngoceh tentang si mati. Dan saya tak mengerti mengapa omongan si Dalban seperti menyihir para pelayat. Orang-orang tampak tekun menikmati cerita tentang almarhum dari mulut nyinyir itu.

“Ya, wong gemblung itu sudah meninggal,” kata Dalban dengan enak. Wajahnya tampak tanpa beban.

“Bagaimana aku tak menyebut iparku wong gemblung. Coba dengar. Suatu ketika di kilang padi, orang-orang menantang Sarpin: bila benar jantan maka dengan upah lima ribu rupiah dia harus berani membuka celana di depan orang banyak. Mau tahu tanggapan Sarpin? Tanpa pikir panjang Sarpin menerima tantangan itu. Ia menelanjangi dirinya bulat-bulat di depan para penantang. Lalu enak saja, dengan kelamin berayun-ayun, dia berjalan berkeliling sambil meminta upah yang dijanjikan.”

Cerita Dalban terputus oleh gelak tawa orang-orang. Dan Dalban makin bersemangat.

“Ya, orang-orang hanya nyengir dan mengaku kalah. Malu dan sebal. Sialnya mereka harus mengumpulkan uang lima ribu. Tetapi Yu Cablek, penjual pecel di kilang padi yang melihat kegilaan Sarpan berlari sambil berteriak, ‘Sarpin gemblung, dasar wong gemblong!’’’

Orang-orang tertawa lagi. Dan jenazah Kang Sarpin terbujur diam dalam keranda hanya beberapa langkah dari mereka. Saya mengerutkan alis. Ah, sebenarnya orang sekampung, lelaki dan perempuan, sudah tahu siapa dan bagaimana Kang Sarpin. Dia memang lain. Dia tidak hanya mau menelanjangi diri di depan orang banyak. Ada lagi tabiatnya yang sering membuat orang sekampung mengerutkan alis karena tak habis pikir. Kang Sarpin sangat doyan main perempuan dan tabiat itu tidak ditutupi-tutupinya. Dia dengan mudah mengaku sudah meniduri sekian puluh perempuan. “Saya selalu tidak tahan bila hasrat birahi tiba-tiba bergolak,” kata Kang Sarpin suatu saat.

“Tetapi Kang Sarpin masih ada baiknya juga,” cerita Dalban lagi. “Meski gemblung dia berpantangan meniduri perempuan bersuami. Kalau soal janda sih, jangan ditanya; yang tua pun dia mau. Dan hebatnya lagi dia juga tak pernah melupakan jatah bagi istrinya, jatah lahir maupun batin.”

***

DALBAN terus ngoceh dan orang-orang tetap setia mendengar dan menikmati ceritanya. Saya juga ikut mengangguk-angguk. Tetapi saya juga merenung. Sebab tadi malam, kira-kira sepuluh jam sebelum kematiannya Kang Sarpin muncul di rumah saya. Di bawah lampu yang tak begitu terang wajahnya kelihatan berat. Ketika saya tanya maksud kedatangannya, Kang Sarpin tak segera membuka mulut. Pertanyaan saya malah membuatnya gelisah. Namun lama-kelamaan mulutnya terbuka juga.

Ketika mulai berbicara ucapannya terdengar kurang jelas. “Mas, saya sering bingung. Sebaiknya saya harus bagaimana?”

“Maksud Kang Sarpin?”

“Ah, Mas kan tahu saya orang begini, orang jelek. Wong gemblung. Doyan perempuan. Saya mengerti, sebenarnya semua orang tak suka kepada saya. Sudah lama saya merasa orang sekampung akan lebih senang bila saya tidak ada. Saya adalah aib di kampung ini.”

“Kang, semua orang sudah tahu siapa kamu,” kata saya sambil tertawa. “Dan ternyata tak seorang pun mengusikmu. Lalu mengapa kamu pusing?”

“Tetapi saya merasa menjadi kelilip orang sekampung. Ah, masa-iya, saya akan terus begini. Saya ingin berhenti menjadi aib kampung ini. Lagi pula sebentar lagi saya punya cucu. Saya sudah malu jadi wong gemblung. Saya sudah ingin jadi wong bener, orang baik-baik. Tetapi bagaimana?”

“Yang begitu kok Tanya saya? Mau jadi orang baik-baik, semuanya tergantung Kang Sarpin sendiri, kan? Kalau mau baik, jadilah baik. Kalau mau tetap gemblung, ya terserah.”

“Tidak! Saya ingin berhenti gemblung. Sialnya, kok ternyata tidak mudah. Betul. Mengubah tabiat ternyata tidak mudah. Dan inilah persoalannya mengapa saya datang ke mari.”

Saya pandangi wajah Kang Sarpin. Matanya menyorotkan keinginan yang sangat serius. Anehnya, saya gagal menahan senyum.

“Bila Kang Sarpin bersungguh-sungguh ingin jadi wong bener, kenapa tidak bisa? Seperti saya bilang tadi, masalahnya tergantung kamu, bukan?”

“Sulit Mas,” potong Sarpin dengan mata berkilat-kilat. “Saya sungguh tak bisa!”

“Kok? Tidak bisa atau tak mau?”

“Tak bisa.” Kang Sarpin menunduk dengan menggeleng sedih.

“Lho, kenapa?”

“Ah, Mas tidak tahu apa yang terjadi dalam diri saya. Burung saya lho, Mas! Burung saya; betapapun saya ingin berhenti main perempuan, dia tidak bisa diatur. Dia amat bandel. Bila sedang punya mau, burung sama sekali tak bisa dicegah. Pokoknya dia harus dituruti, tak kapan, tak di mana. Sungguh Mas, burung saya sangat keras kepala sehingga saya selalu dibuatnya jengkel. Dan bila sudah demikian saya tak bisa berbuat lain kecuali menuruti apa maunya.

“Sekarang, Mas, saya datang kemari untuk minta bantuan. Tolong. Saya suka rela diapakan saja asal saya bisa jadi wong bener. Saya benar-benar ingin berhenti jadi wong gemblung.”

Terasa pandangan Kang Sarpin menusuk mata saya. Saya tahu dia sungguh-sungguh menunggu jawaban. Sialnya, lagi-lagi saya gagal menahan senyum. Kang Sarpin tersinggung.

“Mas, mungkin saya harus dikebiri.”

Saya terkejut. Dan Kang Sarpin bicara dengan mata terus menatap saya.

“Ya. Saya rasa satu-satunya cara untuk menghentikan kegemblungan saya adalah kebiri. Ah, burung saya yang kurang ajar itu memang harus dikebiri. Sekarang Mas, tolong kasih tahu dokter mana yang kiranya mau mengebiri saya. Saya tidak main-main. Betul Mas, saya tidak main-main!”

Tatapan Kang Sarpin makin terasa menusuk-nusuk mata saya. Wajahnya keras. Dan saya hanya bisa menarik napas panjang.

“Entah di tempat lain Kang, tetapi di sini saya belum pernah ada orang dikebiri. Keinginanmu sangat ganjil, Kang.”

“Bila tak ada dokter mau mengebiri, saya akan pergi kepada orang lain. Saya tahu di kampung sebelah ada penyabung yang pandai mengebiri ayam aduannya. Saya kira, sebaiknya saya pergi ke sana. Bila penyabung itu bisa mengebiri ayam, maka dia pun harus bisa mengebiri saya. Ya. Besuk, sehabis menjual beras ke pasar ….”

“Jangan Kang,” potong saya. Tatapan Kang Sarpin kembali menusuk mata saya. “Kamu jangan pergi ke tukang sabung ayam. Dokter memang tidak mau mengebiri kamu. Tetapi saya kira dia punya cara lain untuk menolong kamu. Besuk Kang, kamu saya temani pergi ke dokter.”

Wajah Kang Sarpin perlahan mengendur. Pundaknya turun dan napasnya lepas seperti orang baru menurunkan beban berat. Setelah menyalakan rokok Kang Sarpin menyandarkan ke belakang. Tak lama kemudian, setelah minta pengukuhan janji saya untuk mengantarnya ke dokter, Kang Sarpin minta diri. Saya mengantarnya sampai ke pintu. Ketika saya berbalik tiba-tiba sebuah pertanyaan muncul di kepala; apakah Kang Sarpin adalah lelaki yang disebut cucuk senthe? Di kampung ini cucuk senthe adalah sebutan bagi lelaki dengan dorongan birahi meledak-ledak dan liar sehingga yang bersangkutan pun tak bisa mengendalikan diri. Entahlah.

***

SAYA tersadar ketika semua orang bangkit dari tempat duduk masing-masing. Rupanya Modin yang akan memimpin upacara pelepasan jenazah sudah datang. Bahkan keranda sudah diusung oleh empat lelaki yang berdiri di tengah halaman. Kini suasana hening. Dalban yang sejak pagi terus ngoceh, juga diam.

Modin mengawali acara dengan memintakan maaf bagi almarhum kepada semua yang hadir. Modin juga menganjurkan kepada siapa saja yang punya utang piutang dengan Kang Sarpin untuk segera menyelesaikannya dengan para ahli waris. Sebelum doa dibacakan, modin tidak melupakan tradisi kampung kami; meminta semua orang memberi kesaksian tentang jenazah yang hendak dikubur.

“Saudara-saudara, saya meminta kalian bersaksi apakah yang hendak kita kubur ini jenazah orang baik-baik?”

Hening. Orang-orang saling berpandangan dengan sudut mata. Saya melihat Dalban menyikut lelaki di sebelah. “Bagaimana? Sarpin itu tukang main perempuan. Apa harus kita katakan dia orang baik-baik?”

Masih hening. Saya merasa semua orang menanggung beban rasa pakewuh, serba salah. Maka Modin mengulang pertanyaannya, apakah yang hendak dimakamkan adalah jenazah orang baik-baik. Sepi. Anehnya tiba-tiba saya merasa mulut saya bergerak.

“Baik!”

Suara saya yang keluar serta merta bergema dalam kelengangan. Saya melihat semua orang juga Modin, tertegun lalu menatap saya. Entahlah, saat itu saya bisa menyambut tatapan mereka dengan senyum.

Keranda bergerak bersama langkah empat lelaki yang memikulnya. Bersama orang banyak yang berjalan sambil bergurau, saya ikut mengantar Kang Sarpin ke kuburan. Saya tak menyesal dengan persaksian saya. Di mata saya seorang lelaki yang di ujung hidupnya sempat bercita-cita jadi wong bener adalah orang baik. Entahlah bagi orang lain, entah pula bagi Tuhan.

* * *